DHS Perketat Pengawasan Media Sosial Imigran Terkait ‘Antisemitisme’
Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (DHS) mengumumkan kebijakan baru yang akan memantau akun media sosial seluruh imigran yang masuk ke AS. Pemantauan ini difokuskan pada konten yang dianggap mengandung ‘antisemitisme’, dan kebijakan ini berlaku efektif segera.
Langkah ini diambil di tengah tindakan DHS untuk mendeportasi imigran yang mengkritik tindakan pemerintah Israel di Gaza, di mana lebih dari 50.000 orang dilaporkan tewas sejak akhir 2023. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran tentang kebebasan berpendapat dan potensi penyalahgunaan wewenang.
Definisi ‘Antisemitisme’ yang Tidak Jelas Memicu Kekhawatiran
US Citizenship and Immigration Services (USCIS), bagian dari DHS, akan memantau konten media sosial yang ‘mendukung, menganut, mempromosikan, atau menunjang terorisme antisemit, organisasi teroris antisemit, atau aktivitas antisemit lainnya’. Definisi yang tidak jelas ini menjadi sumber kekhawatiran, karena membuka peluang interpretasi yang luas dan potensi penargetan terhadap individu yang sekadar menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah Israel.
Asisten Sekretaris Urusan Publik DHS, Tricia McLaughlin, menyatakan bahwa ‘Tidak ada tempat di Amerika Serikat bagi simpatisan teroris dari seluruh dunia, dan kami tidak berkewajiban untuk menerima mereka atau membiarkan mereka tinggal di sini’.
Kebijakan ini juga mengundang kritik karena dianggap melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS, yang melindungi kebebasan berpendapat. Namun, sejak kembalinya Presiden Donald Trump berkuasa, dan bertepatan dengan tindakan Elon Musk yang kontroversial, perlindungan terhadap aktivisme damai tampaknya semakin tergerus.
Kasus-kasus Kontroversial Deportasi dan Penahanan
Beberapa kasus telah mencuat ke publik, di mana individu yang mengkritik perang di Gaza menjadi target. Rumeysa Ozturk, seorang mahasiswa PhD di Tufts University, dilaporkan diculik oleh agen negara karena dianggap melakukan ‘antisemitisme’ dan mendukung ‘teroris’. ‘Kejahatannya’ hanyalah menulis opini di surat kabar mahasiswa yang menyerukan diakhirinya perang Israel di Gaza. Ozturk kini ditahan di fasilitas ICE di Louisiana dan dilaporkan ditolak akses ke inhaler saat serangan asma.
Kasus lain melibatkan Mahmoud Khalil, yang memimpin protes pro-Palestina di Columbia University. Meskipun tidak didakwa dengan kejahatan apa pun, pemerintah AS berusaha mendeportasinya dengan dalih memerangi antisemitisme. Columbia University, seperti banyak universitas lain di AS, sempat terancam kehilangan dana federal sebesar $400 juta oleh pemerintahan Trump jika tidak menempatkan Departemen Studi Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika di bawah pengawasan federal.
Kritik Terhadap Kebijakan dan Retorika Trump
Kebijakan DHS ini menuai kecaman keras dari berbagai pihak, yang menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat. Selain itu, pengiriman orang ke penjara penyiksaan di El Salvador dengan dalih memerangi geng semakin memperburuk citra AS di mata internasional.
Presiden Trump sendiri juga tidak luput dari kritik karena sering melontarkan pernyataan antisemit sambil tetap mendukung Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Pernyataannya tentang AS yang akan ‘memiliki’ Gaza dan mengosongkan wilayah tersebut dari semua warga Palestina menuai kecaman luas.
Dampak Kebijakan Terhadap Imigran dan Kebebasan Berpendapat
Kebijakan baru DHS ini memiliki dampak yang signifikan terhadap imigran yang masuk ke AS. Mengkritik kebijakan pemerintah Israel, bahkan sekadar menyuarakan keprihatinan terhadap nasib warga Palestina, dapat berakibat pada penolakan masuk, penahanan, atau bahkan deportasi. Hal ini menciptakan iklim ketakutan dan membungkam kebebasan berpendapat, terutama bagi mereka yang memiliki pandangan yang berbeda dengan narasi resmi.
Situasi kemanusiaan di Gaza terus memburuk, dengan blokade makanan dan pasokan yang diberlakukan Israel. Namun, bagi imigran di AS, menyuarakan fakta ini dapat berakibat fatal. Kebijakan DHS ini semakin mengkhawatirkan dan meningkatkan risiko pengiriman ke kamp konsentrasi ICE atau lebih buruk lagi, mengingat tindakan pemerintahan Trump yang semakin represif.
Leave a Reply