‘Mad Max: Fury Road’: Ikon Aksi yang Tak Lekang Waktu
Tahun 2010-an awal menjadi saksi lahirnya banyak film aksi blockbuster, namun hanya sedikit yang benar-benar membekas. Di antara film-film seperti The Raid, Captain America: The Winter Soldier, dan John Wick, muncul sebuah karya yang hingga kini masih terasa revolusioner: Mad Max: Fury Road.
Dirilis pada 15 Mei 2015, Fury Road adalah film Mad Max pertama sejak Beyond Thunderdome (1985). George Miller, sang kreator, telah mencoba membuat film keempat selama beberapa dekade, hingga akhirnya Tom Hardy, yang kala itu tengah naik daun berkat Inception, terpilih sebagai Max yang baru. Mel Gibson, yang memerankan Max di tiga film sebelumnya, digantikan karena faktor usia dan kontroversi.
Produksi Penuh Tantangan, Hasil Memuaskan
Proses produksi Mad Max: Fury Road tidaklah mudah. Mulai dari perbedaan pendapat antara Hardy dan Charlize Theron, perubahan lokasi, hingga penundaan produksi, banyak rintangan yang harus dihadapi. Namun, di tengah semua kesulitan itu, lahirlah sebuah film yang diakui kritikus, meraih banyak penghargaan, dan dianggap sebagai salah satu film terbaik dekade ini.
Bahkan, Tom Hardy secara terbuka meminta maaf kepada George Miller di Festival Film Cannes karena frustrasinya selama syuting. Ia mengaku baru memahami visi sang sutradara setelah melihat hasil akhir film tersebut.
Lebih dari Sekadar Aksi: Pesan Mendalam tentang Feminis dan Maskulinitas Toksik
Fury Road tidak hanya menyajikan aksi yang memacu adrenalin, tetapi juga mengeksplorasi isu-isu penting seperti feminisme dan maskulinitas toksik dalam dunia pasca-apokaliptik yang terobsesi dengan budaya otomotif. Film ini menyampaikan pesannya dengan jelas, seperti seorang pria yang bermain gitar penyembur api di sebelah speaker raksasa.
Warisan ‘Mad Max’ Setelah ‘Fury Road’
Sejak Fury Road, waralaba Mad Max berlanjut melalui game tahun 2015 dari Avalanche Studios dan film prekuel tahun 2024, Furiosa, yang dibintangi Anya Taylor-Joy sebagai versi muda Imperator Furiosa. Sayangnya, game tersebut mendapat sambutan beragam, dan Furiosa, meski mendapat ulasan positif, kurang sukses di box office.
Meskipun diakui secara kritis, Mad Max tampaknya kesulitan mempertahankan kehadirannya di budaya populer. Mungkin karena jeda waktu yang lama antar film, atau karena kemiripannya dengan properti lain seperti Borderlands dan Fallout. Namun, satu hit besar lagi mungkin cukup untuk membuat audiens mainstream benar-benar memahami daya tarik Mad Max.
Meskipun harapan untuk Miller bersatu kembali dengan Hardy untuk Wasteland, prekuel yang dibintangi Max, tampaknya tipis, keberadaan Fury Road dan Furiosa sudah cukup. Kedua film ini terasa sangat personal dan sepenuhnya terwujud, seolah-olah Miller ingin menuangkan semua yang ada di benaknya ke layar sebelum dia tidak bisa lagi.
Waktu telah berpihak pada Fury Road, dan semoga hal yang sama berlaku untuk Furiosa di masa mendatang. Waralaba ini tampaknya nyaman dengan ambisinya yang sederhana, dan mungkin itu sudah cukup bagi Mad Max dan Miller untuk terus melaju.
Leave a Reply